Laga akbar. Laga biasa. Laga istimewa. Laga yang tidak berbeda dari lainnya.
BANDUNGFOOTBALL.COM —Perdebatan di atas kerap terjadi saat Persib Bandung bertemu dengan Persija Jakarta. Dari perspektif Bobotoh dan Jakmania, ada yang menganggap ini hanyalah laga biasa yang dibesar-besarkan. Ada juga yang sepenuh hati berkata ini laga tentang harga diri. Tapi, perspektif media dan publik umum selalu menilai, ini bukan laga biasa. Sudah banyak darah yang harus terkorbankan, hingga nyawa yang hilang, hanya karena laga ini.
Termutakhir, Persija Jakarta menjamu Persib Bandung di stadion Patriot Chandrabhaga, Bekasi, Minggu (16/2). Persib berhasil curi poin setelah comeback dari ketertinggalan 2 gol menjadi 2-2. Tetapi, yang menjadi highlight dari match tersebut adalah kekerasan yang terjadi di dalam dan di luar lapangan, baik sebelum, saat, dan setelah berlangsungnya pertandingan tersebut.
Kasat Reskrim Polres Metro Bekasi Kota, Kompol Binsar Hatorangan Sianturi, mengungkapkan, 37 suporter menjadi korban kericuhan yang terjadi di stadion Patriot Chandrabhaga, dengan keterangan 15 orang diantaranya adalah Jakmania, yang disangka Bobotoh oleh para pengeroyok. Keterangan dari pihak kepolisian tersebut kemudian disanggah oleh beberapa Jakmania di kolom komentar sosial media kami, bahwa 15 orang Jakmania tersebut adalah orang-orang yang berusaha melindungi korban pengeroyokan, yang merupakan segelintir Bobotoh yang memaksakan diri datang ke laga tersebut.
Pemain Persib pun tidak luput dari kekerasan. Metronom serangan Persib, Tyronne Del Pino, menjadi korban pelemparan benda dari penonton, setelah laga usai saat akan memasuki lorong ke ruang ganti. Termutakhir, Head of Communications PT Persib Bandung Bermartabat, Adhi Pratama, mengungkapkan bahwa Persib akan melakukan investigasi terkait hal ini secara internal, sebelum melakukan langkah lanjutan, baik berupa laporan resmi ataupun evaluasi internal.
Jika berkaca pada pertemuan pertama (23/9/2024) di stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Kabupaten Bandung, kekerasan yang terjadi Minggu (16/2) kemarin bertolak belakang. Di pertemuan pertama tersebut, meski ada beberapa Jakmania yang tertangkap basah oleh Bobotoh memaksakan diri menonton ke SJH, namun tidak ada kekerasan yang terjadi, kondisi relatif aman. Bahkan, kapten Persija, Andritany Ardhiyasa, mengungkapkan kekagumannya dengan situasi yang terjadi pada pertandingan tersebut.
Kembali pada pertemuan di Minggu (16/2), tentu kami melihat dinamika yang terjadi dari sebelum, saat, dan setelah pertandingan, baik di sosial media, maupun dari jurnalis kami yang hadir di stadion untuk meliput. Sejak 3 hari sebelum pertandingan, kami giat campaign terkait pertandingan tanpa adanya kekerasan di antara penonton. Setelah aksi “Refuse To Lose” di sesi latihan Persib, psywar mulai dilontarkan kedua suporter di sosial media.
Di hari pertandingan, mulai bermunculan video-video di sosial media, baik dari video aksi perundungan terhadap bobotoh di malam sebelum pertandingan, video bobotoh bapak-bapak yang dikejar di peron stasiun Jatinegara, ataupun video psywar revenge porn terhadap suporter Persija. Jurnalis kami yang berada di dalam stadion, menyaksikan kekerasan yang terjadi di tribun, juga pada saat aksi pelemparan penonton terhadap tim Persib. Kemudian, beredar pula video kekerasan di sekitar stadion, bahkan perusakan terhadap fasilitas stadion.
Semua hal tidak luput dari pandangan kami yang berada di dalam lapangan dan di balik sosial media. Tentu, dengan banyaknya hal-hal yang beredar tersebut, pihak bobotoh khususnya banyak yang mengharapkan media-media, terkhusus kami, Bandung Football, untuk reaktif dan menjadikannya sebagai berita. Segelintir tuduhan pun terlontarkan, khususnya kepada media-media dari Bandung, yang dianggap menutup mata, sampai dianggap keberpihakan kepada pihak lawan.
Perlu kami garis bawahi, dari perspektif Bandung Football, bahwa meskipun kami ada keberpihakan terhadap sepakbola Bandung, tetapi ada azas jurnalis yang harus kami hormati, yaitu menyajikan berita ataupun konten secara faktual. Menjadi reaktif itu juga penting, namun tetap ada fakta yang harus kami dapatkan terlebih dahulu, dari segala perspektif yang memungkinkan untuk kami dapatkan.
Sikap kami terhadap apa yang terjadi di pertandingan tersebut (16/2), adalah kami mengutuk kekerasan yang terjadi, bahwa hal-hal tersebut tidak seharusnya terjadi di sebuah pertandingan sepakbola. Meski segelintir pihak menganggap ini adalah “bumbu” yang sedap dari rivalitas kedua tim, namun bagi kami, kekerasan suporter, apalagi hingga sampai ke pihak pemain / official tim, tetap sebagai sesuatu hal yang tidak seharusnya ada di pertandingan sepakbola.
Semoga seluruh elemen sepakbola Indonesia benar-benar belajar, dan tidak “memelihara” kekerasan dalam rivalitas Persib-Persija ini, baik dari stakeholder kompetisi, pihak kepolisian, pihak klub, dan juga pihak suporter.
Discussion about this post